Rabu, 09 Januari 2013

Masyarakat Perkotaan dan Masyarakat Pedesaan

Masyarakat Perkotaan dan Masyarakat Pedesaan

Masyarakat dapat mempunyai arti yang luas dan sempit. Dalam arti luas masyarakat adalah ekseluruhan hubungan-hubungan dalam hidup bersama dan tidak dibatasi oleh lingkungan, bangsa dan sebagainya. Dalam arti sempit masyarakat adalah sekelompok manusia yang dibatasi oleh aspek-aspek tertentu, misalnya territorial, bangsa, golongan dan sebagainya.

Masyarakat harus mempunyai syarat-syarat berikut :
  1. Harus ada pengumpulan manusia, dan harus banyak,
  2. telah bertempat tinggal dalam waktu yang lama disuatu daerah tertentu
  3. adanya aturan-aturan atau undang-undang yang mengatur mereka untuk menuju pada kepentingan dan tujuan bersama.
Dipandang dari cara terbentuknya, masyarakat dapat dibagi dalam :
  1. masyarakat paksaan, misalnya Negara, masyarakat tawanan, dan lain-lain
  2. masyarakat merdeka, yagn terbagi dalam :
    1. masyarakat nature, yaitu masyarakat yang terjadi dengan sendirinya, seperti gerombolan, suku, dll
    2. masyarakat kultur, yaitu masyarakat yang terjadi karena kepentingan keduniaan atau kepercayaan, misalnya koperasi,
Masyarakat perkotaan sering disebut urban community. ciri – ciri yang menonjol pada masyarakat kota yaitu :
  1. kehidupan keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan keagamaan di desa
  2. orang kota umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain.
  3. pembagian kerja di antra warga-warga kota juga lebih tegas
  4. kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak
  5. interaksi yang terjadi lebih banyak berdasarkan pada factor kepentingan dari factor pribadi
  6. pembagian waktu yang lebih teliti dan sangat penting
  7. perubahan-perubahan sosial tampak dengan nyata di kota-kota
Perbedaan desa dan kota
  1. jumlah dan kepadatan penduduk
  2. lingkungan hidup
  3. mata pencaharian
  4. corak kehidupan sosial
  5. stratifikasi sosial
  6. mobilitas sosial
  7. pola interaksi sosial
  8. solidaritas sosial
  9. kedudukan dalam hierarki administrasi nasional

Masyarakat pedesaan dan perkotaan bukanlah dua komunitas yang terpisah sama sekali satu sama lain. Bahkan dalam keadaan yang wajar diantara keduanya terdapat hubungan yang erat, bersifat ketergantungan, karena diantara mereka saling membutuhkan.
Secara umum dapat dikenal bahwa suatu lingkungan perkotaan seyogyanya mengandung 5 unsur yang meliputi :
Wisma, Karya, Marga, Suka, Penyempurna
Kota secara internal pada hakekatnya merupakan suatu organisme, yakni kesatuan integral dari tiga komponen meliputi penduduk, kegiatan usaha dan wadah. Ketiganya saling terkait, pengaruh mempengaruhi. oleh karenanya suatu pengembangan yang tidak seimbang antra ketiganya, akan menimbulkan kondisi kota yang tidak positif.

Masyarakat Pedesaan
Yang dimaksud dengan desa adalah merupakan perwujudan atau kesatuan geografi, sosial, ekonomi, politik dan cultural yang terdapat disuatu daerah dalam hubungannya dan pengaruhnya secara timbal-balik dengan daerah lain. cirri-ciri sebagai berikut :
  1. Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan jiwa
  2. Ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukuaan terhadap kebiasaan
  3. Cara berusaha (ekonomi) aalah agraris yang paling umum yang sangat dipengaruhi alam sekitar.

TULISAN

Slamet adalah seorang karyawan sebuah perusahaan yang terletak di salah satu tempat di Jakarta. Ia berasal dari desa. Sebagai seorang perantau, ia bisa dikatakan sudah agak mapan. Ia bisa menyewa sebuah rumah. Pun pula ia bisa menyisihkan sebagian pendapatannya untuk dikirimkan ke desa. Bahkan, pada waktu banyak karyawan di-PHK karena tuntutan ekonomi pasar, ia masih bisa bernafas lega. Ia tidak terkena PHK. Meskipun demikian, ia sendiri memahami dirinya belum sukses. Cita-citanya untuk hidup berkecukupan, dirasanya belum tercapai.

Slamet “dipaksa” oleh situasi untuk mencari penghidupan di kota. Orang tuanya, yang adalah petani, tidak bisa “membuktikan” pada dirinya, bahwa pertanian menjanjikan perbaikan hidup secara cepat dan nikmat. Memang, rumah orang tuanya yang dahulu berdinding anyaman bambu perlahan-lahan bisa menjadi berdinding tembok. Akan tetapi, itu membutuhkan waktu bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun. Ia berpikir, bila ia merantau ke kota, pasti akan lain. Hal itu ia buktikan sesudah di kota beberapa waktu. Ia bisa mengirim ke orang tuanya di desa berbagai perlengkapan rumah tangga, yang baginya amat sulit diadakan jika ia masih menjadi petani di situ.

Itulah sepenggal fiktif orang desa yang merantau ke kota. Kisah senada, kemungkinan besar teralami oleh para perantau dari desa yang berada di Jakarta (dan kota lainnya), dengan perbedaan di sana-sini. Akan tetapi, upaya untuk memperbaiki hidup (ekonomi) kiranya menjadi benang merah dari kisah-kisah itu.

Slamet (dan para perantau lain) hanyalah korban dari sebuah kepincangan kebijakan pembangunan ekonomi rakyat. Selama ini, pembangunan yang menunjang perekonomian lebih digencarkan di perkotaan. Tak ayal lagi, orang-orang desa menoleh ke kecermelangan kota. Ia juga sebuah korban dari kebijakan yang lebih menitikberatkan pembangunan fisik dari pada mental. Ia juga korban dari pandangan salah bahwa (orang) kota lebih bergengsi dari pada (orang) desa. Ia juga hanyalah korban dari pandangan salah bahwa tani adalah pekerjaan yang kotor. Dan akhirnya, ia hanyalah seorang manusia yang berusaha memaknai hidupnya dengan cara yang menurutnya paling memungkinkan di tengah persaingan hidup yang keras.

Bagaimanapun Slamet adalah kisah sukses orang yang merantau ke kota. Akan tetapi di balik kesuksesannya, ada kisah-kisah menyedihkan. Semua yang berangkat ke Jakarta (kota) merindukan pekerjaan untuk menyambung hidup secara layak. Ternyata Jakarta tidak mampu menjawab kerinduan semua, hanya sebagian saja. Banyak orang (bisa para perantau dan bisa juga penduduk asli), yang entah karena dari SDM-nya kurang, atau karena tak ada relasi personal, atau karena penyebab lain, kalah dalam persaingan untuk memperebutkan pekerjaan terbatas yang ditawarkan Jakarta. Akhirnya dengan terpaksa sekali, mereka menjadi gelandangan, anak jalanan, perampok, pencopet, pemeras, pemalak dan sebagainya yang menjadi pertanda adanya masalah sosial yang serius.

Slamet (pasti) tidak menyadari bahwa kesuksesannya, secara tidak langsung turut memperparah masalah sosial perkotaan. Ia tidak sadar bahwa dirinya telah menghilangkan kesempatan satu penduduk asli untuk mendapatkan pekerjaan. Ia tidak menyadari bahwa tanah pertanian yang ditinggalkannya, bila diupayakan dengan kerja keras dan ulet, mampu memberikan penghidupan yang layak. Ia tidak menyadari bahwa tani adalah pekerjaan yang juga mulia seperti pekerjaan-pekerjaan lainnya. Ia tidak menyadari bahwa derajad orang desa sama dengan orang kota. Ia tidak menyadari bahwa dirinya bisa sedikit mengurangi masalah sosial perkotaan yang kian memprihatinkan. Ia tidak mampu menyadari itu semua, karena faktor-faktor eksternal telah mengkondisikannya.

Dewasa ini, Slamet-Slamet yang lain ingin menyusul Slamet yang sudah berhasil. Bila proses urbanisasi ini berjalan terus, tidak ayal lagi, masalah sosial perkotaan dan sekaligus juga masalah sosial pedesaan yang telah demikian besar, akan semakin besar dan rumit. Kurbannya tiada lain adalah saudara-saudara kita sendiri, yakni mereka yang tak mampu bersaing. (Tentu, amat disadari bahwa urbanisasi hanyalah salah satu faktor dari banyak faktor yang menumbuhkan masalah sosial).

Pemerintah yang salah satu fungsinya menyejahterakan seluruh rakyat, hendaknya membuat kebijakan pembangunan secara seimbang, misalnya: antara yang fisik dengan yang mental, antara perkotaan dan pedesaan. Tentu saja, dalam situasi sosial sekarang yang sudah terlanjur dipenuhi dengan masalah-masalah sosial yang pelik, keseimbangan pembangunan tersebut bukanlah sebuah hal yang mudah untuk dilaksanakan. Pun pula tetap disadari, ada banyak juga masalah lain yang harus ditangani. Akan tetapi, bila perimbangan pembangunan tidak dilakukan, bisa diramalkan situasi sosial yang akan kita (dan anak cucu kita) hadapi di masa mendatang.

Rasanya, semua saja dari kita, –yang bukan unsur pemerintah– tidak bisa cuci tangan dan melemparkan tanggung jawab pada pemerintah begitu saja dalam menyikapi masalah ini. Oleh panggilan manusiawi sebagai makhluk sosial dan kewajiban sebagai warga negara, kita pun hendaknya turut menyikapi masalah sosial secara dewasa dengan cara dan kondisi kita masing-masing. Perlu diingat, mereka yang ada dalam lingkaran masalah-masalah sosial adalah juga saudara-saudara kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar