Rabu, 08 Mei 2013

Kebudayaan Batak Karo


Adat istiadat yang diwariskan leluhur masyarakat Batak Karo masih dijunjung tinggi dan dihormati.dan dilestarikan .
Upacara - upacara batak karo yang bersifat ritual adat istiadat seperti:

Upacara Upa Tendi
Makna Upa dan Tendi 
Upa secara bahasa diartikan pemberian. Sedangkan secara istilah adalah suatu ritual yang dilakukan oleh orang yang berhajat dengan mendoa’kan orang yang di upa agar memperoleh kebaikan. Kata Upa ini senada dengan kata Upah- upah, Mangupa dan Pangupa yang arti dan maksudnya juga sama yaitu berhajat dan mendoakan orang yang di upa- upakan.
Sedangkan Tendi adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tendi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan. Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
Tendi (roh, nyawa) berada dalam tubuh manusia dan merupakan satu kesatuan. Manusia menjadi makhluk yang hidup karena memiliki tendi. Tendi memiliki zat kehidupan yang berlangsung selama- lamanya dan tidak dapat rusak oleh apapun. Orang Karo zaman dahulu mengenal ada dua jenis tendi, yaitu:
            Pertama, tendi yang terdapat dalam tubuh manusia dan berhubungan dengannya pada masa kehidupan manusia saja.
            Kedua, tendi yang merupakan bayangan yang melanjutkan aktivitas manusia. Artinya, secara biologis manusia telah mati, tapi aktivitasnya masih dilanjutkan oleh tendinya.
            Kehadiran tendi dalam tubuh manusiamerupakan faktor penentu bagi kesehatan manusia. Timbulnya suatu penyakit, kegelisahan atau kemalangan diyakini sebagai akibat dari lemahnya tendi atau kepergian tendi  dari tubuh manusia. Bila kepergian tendi berlangsung lama dan tidak datang lagi ke dalam tubuh dikhawatirkan bisa menyebabkan kematian bagi manusia. Konon ada empat penyebab tendi meninggalkan tubuh manusia yaitu saat tidur, terkejut, mimpi dan kematian.
Jadi upa tondi adalah suatu ritual yang dilakukan oleh orang yang berhajat dengan mendoa’kan orang yang di upa agar tondinya dapat kembali kedalam tubuhnya atau sering disebut Mulak Tondi Tu Ruma.

Upacara Upa Tondi Batak Karo
Upa atau pun mangupaupa tondi adalah tradisi budaya batak yang dilakukan oleh orang tua kepada anak, dari hula-hula kepada boru. Tradisi ini sudah diwariskan oleh nenek moyang mereka sejak dulu yang dipercaya ritual memohon meminta Sahala (berkat) kepada Oppung Mula Jadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa) agar diberikan keselamatan/ sembuhan.
Biasanya tradisi ini diberikan kepada orang yang sakit, lemah, terkejut, naas dari sebuah kecelakaan. Karena orang-orang yang mengalami kejadian-kejadian tersebut dianggap roh meninggalkan tubuh orang tersebut dan dilakukanlah tradisi mangupaupa bertujuan agar rohnya dapat kembali ke dalam tubuhnya atau sering disebut Mulak Tondi Tu Ruma.[16].
 Pada sumber yang lain Upa Tendi atau Mangupa Tondi ini dilakukan bila seseorang dalam keadaan yang sangat membahayakan sekali (terbukti dari eksistensi tondi yang sudah keluar dari rumah untuk jangka waktu yang lebih lama lagi) maka  diadakan acara yang bukan saja hanya memanggil tondi/ tendi pulang ke rumah (Mulak Tondi Tu Ruma) tetapi juga yang terpenting untuk berusaha “menguatkan” . Dalam hubungan ini orang batak mempercayai bahwa tondi yang sudah sangat lemah, dan menderita karena terancam kepergian tondi keluar adalah dianggap sebagai tondi yang ‘miskin’. Tondi yang miskin perku dan harus dikayakan, sebab kekayaan menunjukkan kekuatan. Apabila tondi harus dikayakan dengan pemberian barang- barang  berharga, makanan tertentu yang di upa- upakan maka seharusnya diadakan upacara ‘mangupa tondi’. Dalam upacara mangupa tondi, bermacam- macam barang dapat diberikan kepada orang yang sakit, seperti, makanan, beras, kerbau, atau binatang ternak lainnya. Tetapi pemberian yang paling lazim  dan dianggap sangat tinggi nilainya ialah pemberian selembar ‘Ulos’.
 Keterlibatan pihak  hula- hula dalam memberikan ulos penguat tondi ini adalah dilatarbelakangi oleh pengertian “sahala” yang dipunyai oleh pihak hula- hula. Ulos yang diberikan oleh pihak hula- hula kepada bere- bere selalu dimaksudkan sebagai lambang transformasi “berkat” yang disalurkan oleh pihak hula- hula kepada berenya. Berkat yang disalurkan melalui pemberian ulos ini mempunyai arti untuk “mengkayakan” roh daripada orang yang sedang menderita kelemahan tondi.
 Inilah salah satu budaya batak yang diwariskan oleh nenek moyang kita agar selalu memohon keselamatan dan kesembuhan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebuah tradisi yang tetap dijungjung tinggi nilai budaya dan dilestarikan.
a.Waktu
Ada beberapa waktu pelaksanaan mengupa- upa tendi orang yang mau di upa- upakan:
1. Pernikahan
2. Selamatan
3. Wisuda

Upacara Ritual Geriten
Pada masyarakat Karo dahulu, setelah orang meninggal, tidak langsung dikebumikan tetapi diadakan upacara adat kematiannya untuk menghormati jenazahnya. Jenazah dimakamkan disuatu tempat untuk sementara. Setelah beberapa tahun lamanya, makam digali kembali untuk mengambil tulang-tulangnya dan dikumpulkan dan kemudian dimakamkan di sebuah rumah yang disebut Geriten.
Ritual kuno dari suku Batak Karo merupakan tradisi suci yang sudah diterapkan berabad-abad lalu. Pada saat penggalian kubur dilakukan  upacara adat yang disebut nurun-nurun (upacara kematian).  Keluarga suku kembali ke kuburan leluhur mereka. Ritual dilakukan dengan menggali kembali kuburan, mengambil seluruh kerangka, membersihkan kerangka dengan wewangian (terdiri dari air kelapa,jeruk nipis, kapur dan rempah-rempah) sebelum meletakkannya dalam peti mati baru dan menempatkannya di Geriten.
 ritual ini dilakukan sebagai penghormatan dan kasih sayang kepada leluhur mereka. Tulang belulang dikeluarkan dari kuburan lama kemudian dipindahkan ke kuburan baru untuk menaikkan status dari leluhur mereka. Setelah kerangka diatur dalam peti itu kemudian ditempatkan ke dalam ‘rumah tengkorak’ yang dibangun khusus untuk acara keluarga dan berdoa bagi tulang. Jefri menjelaskan: “Ini adalah ritual yang sangat langka. Penghapusan tulang dari kuburan tua dilakukan untuk nenek moyang kehormatan dengan tindakan kasih. Tulang-tulang dikeluarkan dari kuburan yang telah ada waktu yang lama dan pindah ke sebuah kuburan baru, lebih baik. Ini adalah cara untuk menaikkan status dari nenek moyang.
  

Upacara Erpangir Ku Lau
1. Latar Belakang Upacara
 Erpangir ku lau dilakukan dikarenakan oleh beberapa hal, misalnya :
(1) Buang sial, yaitu untuk membuang hal-hal yang dianggap membawa dampak tidak baik dalam diri seseorang. Untuk membuang hakl-hal yang dianggap sebagai ‘sial’ tersebut maka harus dibersihkan dengan upacara;
(2) Meminta kesembuhan penyakit, seseorang yang dihinggapi satu penyakit diyakini sebagai penyakit yang dibuat oleh manusia lain lewat perantaraan makhluk-makhluk halus, atau bias jadi karena makhlus halus itu sendiri (begu). Untuk penyembuhan salah satu cara pengobatan adalah dengan melakukan ritual erpangir ku lau;
(3) Menabalkan seseorang menjadi guru. Proses menjadi seorang guru juga harus melalui proses erpangir. Oleh sebab itu seseorang menjadi guru harus ditabalkan atau ditahbiskan dengan cara ipangiri oleh seorang guru juga.
(4) Permintaan begu singarak-ngarak seseorang. Seseorang yang mempunyai begu jabu biasa akan diurasi atau dibersihkan dari hal-hal yang tidak baik, caranya adalah dengan erpangir.
(5) Pembersihkan diri dari yang kotor
(6) Perkawinan, dalam upacara perkawinan sebelum perkawinan dilangsungkan biasa juga didahului dengan upacara erpangir ku lau. Hal ini untuk meminta persentabin atau ijin kepada semua makhluk-makhluk agar perkawinan tersebut dapat berlangsung dengan baik, sekaligus membersihkan diri dari hal-hal yang kotor.
(7) Menabalkan nama atau memberikan nama kepada seseorang
(8) Rutin silengguri, adalah berkeramas ke sungai dikarenakan mempunyai jinujung (begu jabu) sebagai salah satu modal kekuatan bagi diri seseorang.
(9) dll.
Biasanya pihak keluarga yang ingin melakukan erpangir ku lau adalah karena ada pirasat (gerek) dari seseorang bahwa ada yang tidak beres dalam tubuhnya.

2. Jenis Upacara
Upacara erpangir ku lau dapat dibedakan tiga jenis berdasarkan besar kecilnya upacara tersebut dilakukan. Besar kecilnya jenis upacara ini terkait dengan jumlah peserta upacara atau kerabat yang terlibat dalam upacara tersebut dan jenis hewan yang disembelih. Disamping itu juga berpengaruh kepada tempat pelaksanaan upacara. Meskipun sebenarnya kategori ini tidak sepenuhnya dipakai khusus untuk upacara erpangir ku lau, tetapi biasa kegiatan erpangir ku lau merupakan suatu runtutan dari upacara utama, misalnya kegiatan erpangir ku lau diadakan karena akan dilaksanakan upacara perkawinan, dan sebagainya. Jadi sebenarnya pengelompokan jenis yang dimaksud adalah pengelompokan berdasarkan upacara perkawinan tersebut. Namun khusus untuk upacara erpangir ku lau bisa saja dilakukan dalam bentuk besar sampai bentuk yang paling kecil, yaitu ritual erpangir yang dilakukan oleh pribadi-pribadi. Adapun jenis upacara tersebut adalah:
1. Kerja Sintua
 Kerja (Pesta) sintua merupakan pesta yang paling besar yang ada pada masyarakat Karo. Pada pesta ini harus melibatkan seluruh sangkep nggeluh, yaitu orang-orang yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan yang empunya hajatan serta seluruh anak kampung dimana pesta tersebut dilaksanakan. Pada upacara ini biasanya hewan yang disembelih adalah sapi (lembu).
Dalam kerja sintua ini seluruh kerabat yang dikenal dengan sangkep nggeluh, yang terdiri dari tiga unsur yaitu kalimbubu (pihak pemberi wanita), senina (saudara-saudara yang melakukan hajatan), dan anak beru (pihak penerima wanita). Masing-masing pihak dalam tiga status sosial tersebut mempunyai peranan masing-masing serta bagaimana mereka berlaku dalam upacara tersebut. Misalnya anak beru biasanya mempersiapkan segala sesuatunya seperti memasak makanan untuk seluruh peserta upacara tersebut, dan mengatur segala sesuatunya untuk keberhasilan upacara pihak kalimbubunya. Demikian juga dengan pihak senina dan kalimbubu mempunyai fungsi dan peranan masing-masing.
 Meskipun pelaksanaan upacara adat yang terkait dengan erpangir ku lau dilangsungkan di Jambur, namun upacara erpangirnya sendiri tetap diadakan di sungai. Dalam kegiatan ini biasanya tidak hanya menggunakan alat musik yang relatif kecil, yaitu gendang telu sedalanen saja, tetapi juga menggunakan gendang yang lebih besar yang disebut dengan gendang lima sedalanen. Dalam upacara ini juga diadakan landek (menari) sesuai dengan peranannya masing-masing dalam upacara tersebut.
2. Kerja Sintengah
 Kerja sintengah adalah sebutan untuk pesta atau upacara yang sifatnya menengah. Upacara ini merupakan satu tingkat dibawah upacara yang termasuk dalam kategori kerja sintua. Pada upacara jenis ini meskipun juga melibatkan unsur-unsur sangkep nggeluh kerabat, namun tidak selengkap anggota kerabat yang terlibat dalam upacara kerja sintua. Dalam kerja sintua hampir melibatkan seluruh kerabat yang jauh dan dekat, serta penduduk kampung. Namun dalam kerja sintengah unsur-unsur kerabat yang diundang pada umumnya kerabat yang harus memang terlibat dalam kegiatan adat dalam sebuah keluarga tertentu. Oleh sebab itu upacara ini dinamakan kerja sintengah atau pesta/upacara tingkat menengah dalam ukuran adat Karo.
 Hewan yang disembelih dalam upacara ini biasanya masih hewan yang berkaki empat, yaitu babi.

3. Kerja Singuda
 Kerja singuda adalah jenis upacara yang lebih kecil lagi dari kerja sintengah. Upacara ini biasanya cukup dihadiri oleh sangkep nggeluh dari unsur-unsur anggota keluarga yang paling dekat saja, dimana peranan masing-masing individu tersebut dangat penting dalam proses adat yang berlaku bagi masyarakat Karo. Unsur-unsur telu sedalanen seperti kalimbubu, anak beru dan senina, tidak semuanya terlibat. Tetapi menjadi sebuah keharusan dalam setiap upacara adat yang ada ke tiga unsur tersebut memang mutlak harus ada.
 Selain ketiga jenis upacara tersebut sebenarnya masih ada dikenal beberapa jenis upacara yang lain yang relatif lebih kecil. Namun istilah tersebut kurang popular dan kurang dikenal dalam upacara erpangir ku lau. Jenis-jenis upacara tersebut dikenal dalam upacara perkawinan, misalnya jenis upacara jumpa gebuk, yang artinya upacara yang sangat sederhana sekali. Jumpa gebuk berarti ketemu asap, yang melambangkan ketemu sirih dan rokok, karena upacara orang Karo identik dengan belo (sirih) dan rokok. Sirih dan rokok merupakan sarana bagi orang Karo untuk memulai pembicaraan atau disebut dengan ranan adat. Dalam upacara yang peling kecil ini, demikian juga untuk upacara kerja singuda, biasanya hewan yang disembelih cukup hanya binatang yang berkaki dua saja, yaitu ayam.
 Selain jenis-jenis upacara tersebut dilakukan dengan melibatkan anggota masyarakat, dalam masyarakat Karo juga biasa juga dikenal erpangir secara pribadi-pribadi. Erpangir jenis ini biasanya karena seseorang mempunyai keahlian khusus dalam berbagai bidang, misalnya sebagai sierjabaten (pemusik tradisional), lit pemetehna (ahli dalam bidang pengobatan, meramal, dan sebagainya). Jenis erpangir seperti ini tidak melibatkan unsur orang banyak, tetapi tergantung kepada hubungan individu-individu dengan roh yang menyatu dengan dirinya. Biasanya ditandai dengan gerek atau pertanda, bahwa roh yang melekat dalam diri seseorang memintanya untuk melakukan mandi ritual tersebut. Lokasi dan tempatnya biasanya sudah dipahami oleh masing-masing individu yang mempunyai kecakapan khusus tentang itu. Hal seperti ini biasanya disampaikan juga lewat nipi (mimpi).
Orang yang erpangir seperti ini biasa juga mandi ketika wari belah purnama raya, yaitu pada hari-hari ketika bulan purnama. Waktunya biasa dilakukan pada malam hari dan sendirian di sebuah sungai atau di tempat pemandian umum pada malam hari. Hal ini untuk menghindari proses erpangir tersebut agar tidak diganggu oleh orang lain.
 Erpangir jenis ini maknanya membersihkan diri dari hal-hal yang kotor yang dianggap tidak berkenan bagi roh pengikutnya yang dilakukan oleh individu tersebut selama ini. Jika tidak dilakukan pembersihan atau erpangir, maka diyakini roh-roh tersebut akan semakin jauh
Aspek Nilai/ Filosofis
Batak karo Menjunjung tinggi nilai adat istiadat mereka dan nilai leluhur mereka
Adapun tradisi yang dipraktekkan oleh kalangan masarakat Karo meski sebagian besar masyarakatnya beragama Kristen, namun tradisi tersebut berisikan nilai- nilai positif, diantaranya:
1. Berisi nasihat
Nasihat secara khusus diberikan kepada orang yang di upa- upakan tendinya. Selain itu para hadirin yang ada di upacara yang mendengar nasihat juga merasakan dampak nasihat dari kata- kata upa tendi.
2. Nilai doa
Kata- kata dalam pengupahan tendi sarat dengan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Doa tersebut berisi permohonan, kesehatan dan keselamatan, kebahagiaan dan kejayaan bagi orang- orang yang di upa- upakan, keluarga dan para hadirin.
3. Mempererat silaturrahim
Persiapan dan prosesi pelaksanaan acara upa tendi mengajarkan tradisi bersilaturrahim kepada anggota keluarga dan masyarakat. Pertemuan, gotong- royong, do’a bersama, makan bersama dan saling bercengkrama tentunya akan memupuk rasa persaudaraan yang tinggi di tengah- tengah masyarakat.
4. Memupuk rasa syukur
Umat Islam di Karo yang dengan membuat acara ini dianjurkan untuk selalu ingat kepada Tuhan dan bersyukur ats nikmat- Nya yang telah dilimpahkan. Dalam kegiatan ini juga terkandung pula makna pemupukan rasa syukur, senantiasa dianjurkan ingat kepada Tuhan.
5. Elaborasi spirit
Secara ilmiah, pelaksanaan upa- upah pada tendi seseorang yang terkejut, terkena bencana/ penyakit mengandung unsur sugesti atau dorongan spiritual terhadap moral satu individu atau kelompok. Dampaknya akan terlihat apabila peserta benar- benar mengerti dan paham, menghayati serta merasa bagian dari pengupahan tersebut sehingga melahirkan semangat baru dalam mengarungi kehidupan.
Adapun tradisi yang dipraktekkan oleh kalangan masarakat karo meski sebagian besar masyarakatnya beragama Kristen, namun tradisi tersebut berisikan nilai- nilai positif, di antaranya berisi nasihat, nilai do’a, mempererat silaturrahim, memupuk rasa syukur, dan yang paling penting adalah pengembalian dan elaborasi spirit.

1. Asal Kata Karo
Dari manakah asal kata Karo ini ?
Ada yang menduga berasal dari kata Arab yakni Qarau yang berarti telah diajar membaca atau sembahyang, oleh orang- orang arab. Ada pula yang menduga berasal dari Haro yaitu orang datang. Dapat pula diartikan Karo ini adalah Karo atau keras. Dalam beberapa literature tentang Karo, etimologi Karo berasal dari nama kerajaan Haru yang berdiri sekitar abad 14 sampai abad 15 di daerah Sumatera Utara. Kemudian pengucapan kata Haru ini berubah menjadi Karo. Inilah diperkirakan awal terbentuknya nama Karo.
2. Sejarah Batak Karo
Kerajaan Haru- Karo mulai menjadi kerajaan besar di Sumatera, namun tidak diketahu secara kapan berdirinya. Namun demikian, Brahma Putra dalam bukunya “Karo dari Zaman ke Zaman” mengatakan bahwa pada abad 1 Masehi sudah ada kerajaan di Sumatera Utara yang rajanya bernama “Pa Lagan”. Menilik dari nama itu merupakan bahasa yang berasal dari suku Karo. Mungkinkah pada masa itu kerajaan Haru sudah ada? Hal ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Kerajaan Haru- Karo diketahui tumbuh dan berkembang bersamaan waktunya dengan kerajaan Majapahit, Sriwijaa, Johor, Malaka dan Aceh. Terbukti karena kerajaan Haru pernah berperang dengan kerajaan- kerajaan tersebut. Kerajaan Haru identik dengan suku Karo, yaitu salah satu suku di Nusantara. Pada masa keemasannya, kerajaan Haru- Karo mulai dari Aceh Besar hingga ke sungai Siak di Riau. Eksistensi Haru- Karo di Aceh dapat dipastikan dengan beberapa nama desa di sana yang berasal dari bahasa Karo. Misalnya Kuta Raja (Sekarang Banda Aceh), Kuta Binjei di Aceh Timur, Kuta Karang, Kuta Alam, Kuta Lubok, Kuta Laksamana Mahmud, Kuta Cane, Blangkejren dan lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar