Adat istiadat yang diwariskan leluhur masyarakat Batak Karo masih dijunjung tinggi dan dihormati.dan dilestarikan .
Upacara
- upacara batak karo yang bersifat ritual adat istiadat seperti:
Upacara Upa Tendi
Makna Upa dan Tendi
Upa secara bahasa diartikan pemberian. Sedangkan
secara istilah adalah suatu ritual yang dilakukan oleh orang yang berhajat
dengan mendoa’kan orang yang di upa agar memperoleh kebaikan. Kata Upa ini
senada dengan kata Upah- upah, Mangupa dan Pangupa yang arti dan maksudnya juga
sama yaitu berhajat dan mendoakan orang yang di upa- upakan.
Sedangkan Tendi adalah jiwa atau roh seseorang yang
merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tendi
di dapat sejak seseorang di dalam kandungan. Bila tondi meninggalkan badan
seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara
mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
Tendi (roh, nyawa) berada dalam tubuh manusia dan
merupakan satu kesatuan. Manusia menjadi makhluk yang hidup karena memiliki
tendi. Tendi memiliki zat kehidupan yang berlangsung selama- lamanya dan tidak
dapat rusak oleh apapun. Orang Karo zaman dahulu mengenal ada dua jenis tendi,
yaitu:
Pertama, tendi yang terdapat dalam tubuh manusia dan berhubungan
dengannya pada masa kehidupan manusia saja.
Kedua, tendi yang merupakan bayangan yang
melanjutkan aktivitas manusia. Artinya, secara biologis manusia telah mati,
tapi aktivitasnya masih dilanjutkan oleh tendinya.
Kehadiran tendi dalam tubuh manusiamerupakan faktor penentu bagi kesehatan
manusia. Timbulnya suatu penyakit, kegelisahan atau kemalangan diyakini sebagai
akibat dari lemahnya tendi atau kepergian tendi
dari tubuh manusia. Bila kepergian tendi berlangsung lama dan tidak
datang lagi ke dalam tubuh dikhawatirkan bisa menyebabkan kematian bagi
manusia. Konon ada empat penyebab tendi meninggalkan tubuh manusia yaitu saat
tidur, terkejut, mimpi dan kematian.
Jadi upa tondi adalah suatu ritual yang dilakukan
oleh orang yang berhajat dengan mendoa’kan orang yang di upa agar tondinya
dapat kembali kedalam tubuhnya atau sering disebut Mulak Tondi Tu Ruma.
Upacara Upa Tondi Batak Karo
Upa atau pun mangupaupa tondi adalah tradisi budaya
batak yang dilakukan oleh orang tua kepada anak, dari hula-hula kepada boru.
Tradisi ini sudah diwariskan oleh nenek moyang mereka sejak dulu yang dipercaya
ritual memohon meminta Sahala (berkat) kepada Oppung Mula Jadi Nabolon (Tuhan
Yang Maha Esa) agar diberikan keselamatan/ sembuhan.
Biasanya tradisi ini diberikan kepada orang yang
sakit, lemah, terkejut, naas dari sebuah kecelakaan. Karena orang-orang yang
mengalami kejadian-kejadian tersebut dianggap roh meninggalkan tubuh orang
tersebut dan dilakukanlah tradisi mangupaupa bertujuan agar rohnya dapat
kembali ke dalam tubuhnya atau sering disebut Mulak Tondi Tu Ruma.[16].
Pada sumber
yang lain Upa Tendi atau Mangupa Tondi ini dilakukan bila seseorang dalam
keadaan yang sangat membahayakan sekali (terbukti dari eksistensi tondi yang
sudah keluar dari rumah untuk jangka waktu yang lebih lama lagi) maka diadakan acara yang bukan saja hanya
memanggil tondi/ tendi pulang ke rumah (Mulak Tondi Tu Ruma) tetapi juga yang
terpenting untuk berusaha “menguatkan” . Dalam hubungan ini orang batak
mempercayai bahwa tondi yang sudah sangat lemah, dan menderita karena terancam
kepergian tondi keluar adalah dianggap sebagai tondi yang ‘miskin’. Tondi yang
miskin perku dan harus dikayakan, sebab kekayaan menunjukkan kekuatan. Apabila
tondi harus dikayakan dengan pemberian barang- barang berharga, makanan tertentu yang di upa-
upakan maka seharusnya diadakan upacara ‘mangupa tondi’. Dalam upacara mangupa
tondi, bermacam- macam barang dapat diberikan kepada orang yang sakit, seperti,
makanan, beras, kerbau, atau binatang ternak lainnya. Tetapi pemberian yang
paling lazim dan dianggap sangat tinggi
nilainya ialah pemberian selembar ‘Ulos’.
Keterlibatan
pihak hula- hula dalam memberikan ulos
penguat tondi ini adalah dilatarbelakangi oleh pengertian “sahala” yang
dipunyai oleh pihak hula- hula. Ulos yang diberikan oleh pihak hula- hula
kepada bere- bere selalu dimaksudkan sebagai lambang transformasi “berkat” yang
disalurkan oleh pihak hula- hula kepada berenya. Berkat yang disalurkan melalui
pemberian ulos ini mempunyai arti untuk “mengkayakan” roh daripada orang yang
sedang menderita kelemahan tondi.
Inilah salah
satu budaya batak yang diwariskan oleh nenek moyang kita agar selalu memohon
keselamatan dan kesembuhan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebuah tradisi yang
tetap dijungjung tinggi nilai budaya dan dilestarikan.
a.Waktu
Ada beberapa waktu pelaksanaan mengupa- upa tendi
orang yang mau di upa- upakan:
1. Pernikahan
2. Selamatan
3. Wisuda
Upacara
Ritual Geriten
Pada masyarakat Karo dahulu, setelah orang
meninggal, tidak langsung dikebumikan tetapi diadakan upacara adat kematiannya
untuk menghormati jenazahnya. Jenazah dimakamkan disuatu tempat untuk
sementara. Setelah beberapa tahun lamanya, makam digali kembali untuk mengambil
tulang-tulangnya dan dikumpulkan dan kemudian dimakamkan di sebuah rumah yang
disebut Geriten.
Ritual kuno dari suku Batak Karo merupakan tradisi
suci yang sudah diterapkan berabad-abad lalu. Pada saat penggalian kubur
dilakukan upacara adat yang disebut
nurun-nurun (upacara kematian). Keluarga
suku kembali ke kuburan leluhur mereka. Ritual dilakukan dengan menggali
kembali kuburan, mengambil seluruh kerangka, membersihkan kerangka dengan
wewangian (terdiri dari air kelapa,jeruk nipis, kapur dan rempah-rempah)
sebelum meletakkannya dalam peti mati baru dan menempatkannya di Geriten.
ritual ini
dilakukan sebagai penghormatan dan kasih sayang kepada leluhur mereka. Tulang
belulang dikeluarkan dari kuburan lama kemudian dipindahkan ke kuburan baru untuk
menaikkan status dari leluhur mereka. Setelah kerangka diatur dalam peti itu
kemudian ditempatkan ke dalam ‘rumah tengkorak’ yang dibangun khusus untuk
acara keluarga dan berdoa bagi tulang. Jefri menjelaskan: “Ini adalah ritual
yang sangat langka. Penghapusan tulang dari kuburan tua dilakukan untuk nenek
moyang kehormatan dengan tindakan kasih. Tulang-tulang dikeluarkan dari kuburan
yang telah ada waktu yang lama dan pindah ke sebuah kuburan baru, lebih baik.
Ini adalah cara untuk menaikkan status dari nenek moyang.
Upacara
Erpangir Ku Lau
1. Latar Belakang Upacara
Erpangir ku
lau dilakukan dikarenakan oleh beberapa hal, misalnya :
(1) Buang sial, yaitu untuk membuang hal-hal yang
dianggap membawa dampak tidak baik dalam diri seseorang. Untuk membuang
hakl-hal yang dianggap sebagai ‘sial’ tersebut maka harus dibersihkan dengan
upacara;
(2) Meminta kesembuhan penyakit, seseorang yang dihinggapi
satu penyakit diyakini sebagai penyakit yang dibuat oleh manusia lain lewat
perantaraan makhluk-makhluk halus, atau bias jadi karena makhlus halus itu
sendiri (begu). Untuk penyembuhan salah satu cara pengobatan adalah dengan
melakukan ritual erpangir ku lau;
(3) Menabalkan seseorang menjadi guru. Proses
menjadi seorang guru juga harus melalui proses erpangir. Oleh sebab itu
seseorang menjadi guru harus ditabalkan atau ditahbiskan dengan cara ipangiri
oleh seorang guru juga.
(4) Permintaan begu singarak-ngarak seseorang.
Seseorang yang mempunyai begu jabu biasa akan diurasi atau dibersihkan dari
hal-hal yang tidak baik, caranya adalah dengan erpangir.
(5) Pembersihkan diri dari yang kotor
(6) Perkawinan, dalam upacara perkawinan sebelum
perkawinan dilangsungkan biasa juga didahului dengan upacara erpangir ku lau.
Hal ini untuk meminta persentabin atau ijin kepada semua makhluk-makhluk agar
perkawinan tersebut dapat berlangsung dengan baik, sekaligus membersihkan diri
dari hal-hal yang kotor.
(7) Menabalkan nama atau memberikan nama kepada
seseorang
(8) Rutin silengguri, adalah berkeramas ke sungai
dikarenakan mempunyai jinujung (begu jabu) sebagai salah satu modal kekuatan
bagi diri seseorang.
(9) dll.
Biasanya pihak keluarga yang ingin melakukan erpangir
ku lau adalah karena ada pirasat (gerek) dari seseorang bahwa ada yang tidak
beres dalam tubuhnya.
2. Jenis Upacara
Upacara erpangir ku lau dapat dibedakan tiga jenis
berdasarkan besar kecilnya upacara tersebut dilakukan. Besar kecilnya jenis
upacara ini terkait dengan jumlah peserta upacara atau kerabat yang terlibat
dalam upacara tersebut dan jenis hewan yang disembelih. Disamping itu juga
berpengaruh kepada tempat pelaksanaan upacara. Meskipun sebenarnya kategori ini
tidak sepenuhnya dipakai khusus untuk upacara erpangir ku lau, tetapi biasa
kegiatan erpangir ku lau merupakan suatu runtutan dari upacara utama, misalnya
kegiatan erpangir ku lau diadakan karena akan dilaksanakan upacara perkawinan,
dan sebagainya. Jadi sebenarnya pengelompokan jenis yang dimaksud adalah
pengelompokan berdasarkan upacara perkawinan tersebut. Namun khusus untuk
upacara erpangir ku lau bisa saja dilakukan dalam bentuk besar sampai bentuk
yang paling kecil, yaitu ritual erpangir yang dilakukan oleh pribadi-pribadi.
Adapun jenis upacara tersebut adalah:
1. Kerja Sintua
Kerja (Pesta)
sintua merupakan pesta yang paling besar yang ada pada masyarakat Karo. Pada
pesta ini harus melibatkan seluruh sangkep nggeluh, yaitu orang-orang yang
masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan yang empunya hajatan serta seluruh
anak kampung dimana pesta tersebut dilaksanakan. Pada upacara ini biasanya
hewan yang disembelih adalah sapi (lembu).
Dalam kerja sintua ini seluruh kerabat yang dikenal
dengan sangkep nggeluh, yang terdiri dari tiga unsur yaitu kalimbubu (pihak
pemberi wanita), senina (saudara-saudara yang melakukan hajatan), dan anak beru
(pihak penerima wanita). Masing-masing pihak dalam tiga status sosial tersebut
mempunyai peranan masing-masing serta bagaimana mereka berlaku dalam upacara
tersebut. Misalnya anak beru biasanya mempersiapkan segala sesuatunya seperti
memasak makanan untuk seluruh peserta upacara tersebut, dan mengatur segala
sesuatunya untuk keberhasilan upacara pihak kalimbubunya. Demikian juga dengan
pihak senina dan kalimbubu mempunyai fungsi dan peranan masing-masing.
Meskipun
pelaksanaan upacara adat yang terkait dengan erpangir ku lau dilangsungkan di
Jambur, namun upacara erpangirnya sendiri tetap diadakan di sungai. Dalam
kegiatan ini biasanya tidak hanya menggunakan alat musik yang relatif kecil,
yaitu gendang telu sedalanen saja, tetapi juga menggunakan gendang yang lebih
besar yang disebut dengan gendang lima sedalanen. Dalam upacara ini juga
diadakan landek (menari) sesuai dengan peranannya masing-masing dalam upacara tersebut.
2. Kerja Sintengah
Kerja
sintengah adalah sebutan untuk pesta atau upacara yang sifatnya menengah.
Upacara ini merupakan satu tingkat dibawah upacara yang termasuk dalam kategori
kerja sintua. Pada upacara jenis ini meskipun juga melibatkan unsur-unsur
sangkep nggeluh kerabat, namun tidak selengkap anggota kerabat yang terlibat
dalam upacara kerja sintua. Dalam kerja sintua hampir melibatkan seluruh
kerabat yang jauh dan dekat, serta penduduk kampung. Namun dalam kerja sintengah
unsur-unsur kerabat yang diundang pada umumnya kerabat yang harus memang
terlibat dalam kegiatan adat dalam sebuah keluarga tertentu. Oleh sebab itu
upacara ini dinamakan kerja sintengah atau pesta/upacara tingkat menengah dalam
ukuran adat Karo.
Hewan yang
disembelih dalam upacara ini biasanya masih hewan yang berkaki empat, yaitu
babi.
3. Kerja Singuda
Kerja singuda
adalah jenis upacara yang lebih kecil lagi dari kerja sintengah. Upacara ini
biasanya cukup dihadiri oleh sangkep nggeluh dari unsur-unsur anggota keluarga
yang paling dekat saja, dimana peranan masing-masing individu tersebut dangat
penting dalam proses adat yang berlaku bagi masyarakat Karo. Unsur-unsur telu
sedalanen seperti kalimbubu, anak beru dan senina, tidak semuanya terlibat.
Tetapi menjadi sebuah keharusan dalam setiap upacara adat yang ada ke tiga
unsur tersebut memang mutlak harus ada.
Selain ketiga
jenis upacara tersebut sebenarnya masih ada dikenal beberapa jenis upacara yang
lain yang relatif lebih kecil. Namun istilah tersebut kurang popular dan kurang
dikenal dalam upacara erpangir ku lau. Jenis-jenis upacara tersebut dikenal
dalam upacara perkawinan, misalnya jenis upacara jumpa gebuk, yang artinya
upacara yang sangat sederhana sekali. Jumpa gebuk berarti ketemu asap, yang
melambangkan ketemu sirih dan rokok, karena upacara orang Karo identik dengan
belo (sirih) dan rokok. Sirih dan rokok merupakan sarana bagi orang Karo untuk
memulai pembicaraan atau disebut dengan ranan adat. Dalam upacara yang peling
kecil ini, demikian juga untuk upacara kerja singuda, biasanya hewan yang
disembelih cukup hanya binatang yang berkaki dua saja, yaitu ayam.
Selain
jenis-jenis upacara tersebut dilakukan dengan melibatkan anggota masyarakat,
dalam masyarakat Karo juga biasa juga dikenal erpangir secara pribadi-pribadi.
Erpangir jenis ini biasanya karena seseorang mempunyai keahlian khusus dalam
berbagai bidang, misalnya sebagai sierjabaten (pemusik tradisional), lit
pemetehna (ahli dalam bidang pengobatan, meramal, dan sebagainya). Jenis
erpangir seperti ini tidak melibatkan unsur orang banyak, tetapi tergantung
kepada hubungan individu-individu dengan roh yang menyatu dengan dirinya.
Biasanya ditandai dengan gerek atau pertanda, bahwa roh yang melekat dalam diri
seseorang memintanya untuk melakukan mandi ritual tersebut. Lokasi dan
tempatnya biasanya sudah dipahami oleh masing-masing individu yang mempunyai
kecakapan khusus tentang itu. Hal seperti ini biasanya disampaikan juga lewat
nipi (mimpi).
Orang yang erpangir seperti ini biasa juga mandi
ketika wari belah purnama raya, yaitu pada hari-hari ketika bulan purnama.
Waktunya biasa dilakukan pada malam hari dan sendirian di sebuah sungai atau di
tempat pemandian umum pada malam hari. Hal ini untuk menghindari proses
erpangir tersebut agar tidak diganggu oleh orang lain.
Erpangir
jenis ini maknanya membersihkan diri dari hal-hal yang kotor yang dianggap
tidak berkenan bagi roh pengikutnya yang dilakukan oleh individu tersebut
selama ini. Jika tidak dilakukan pembersihan atau erpangir, maka diyakini roh-roh
tersebut akan semakin jauh
Aspek Nilai/ Filosofis
Batak karo Menjunjung tinggi nilai adat istiadat mereka
dan nilai leluhur mereka
Adapun tradisi yang dipraktekkan oleh kalangan
masarakat Karo meski sebagian besar masyarakatnya beragama Kristen, namun
tradisi tersebut berisikan nilai- nilai positif, diantaranya:
1. Berisi nasihat
Nasihat secara khusus diberikan kepada orang yang di
upa- upakan tendinya. Selain itu para hadirin yang ada di upacara yang
mendengar nasihat juga merasakan dampak nasihat dari kata- kata upa tendi.
2. Nilai doa
Kata- kata dalam pengupahan tendi sarat dengan doa
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Doa tersebut berisi permohonan, kesehatan dan
keselamatan, kebahagiaan dan kejayaan bagi orang- orang yang di upa- upakan,
keluarga dan para hadirin.
3. Mempererat silaturrahim
Persiapan dan prosesi pelaksanaan acara upa tendi
mengajarkan tradisi bersilaturrahim kepada anggota keluarga dan masyarakat.
Pertemuan, gotong- royong, do’a bersama, makan bersama dan saling bercengkrama
tentunya akan memupuk rasa persaudaraan yang tinggi di tengah- tengah
masyarakat.
4. Memupuk rasa syukur
Umat Islam di Karo yang dengan membuat acara ini
dianjurkan untuk selalu ingat kepada Tuhan dan bersyukur ats nikmat- Nya yang
telah dilimpahkan. Dalam kegiatan ini juga terkandung pula makna pemupukan rasa
syukur, senantiasa dianjurkan ingat kepada Tuhan.
5. Elaborasi spirit
Secara ilmiah, pelaksanaan upa- upah pada tendi
seseorang yang terkejut, terkena bencana/ penyakit mengandung unsur sugesti
atau dorongan spiritual terhadap moral satu individu atau kelompok. Dampaknya
akan terlihat apabila peserta benar- benar mengerti dan paham, menghayati serta
merasa bagian dari pengupahan tersebut sehingga melahirkan semangat baru dalam
mengarungi kehidupan.
Adapun tradisi yang dipraktekkan oleh kalangan
masarakat karo meski sebagian besar masyarakatnya beragama Kristen, namun
tradisi tersebut berisikan nilai- nilai positif, di antaranya berisi nasihat,
nilai do’a, mempererat silaturrahim, memupuk rasa syukur, dan yang paling
penting adalah pengembalian dan elaborasi spirit.
1. Asal Kata Karo
Dari manakah asal kata Karo ini ?
Ada yang menduga berasal dari kata Arab yakni Qarau
yang berarti telah diajar membaca atau sembahyang, oleh orang- orang arab. Ada
pula yang menduga berasal dari Haro yaitu orang datang. Dapat pula diartikan
Karo ini adalah Karo atau keras. Dalam beberapa literature tentang Karo,
etimologi Karo berasal dari nama kerajaan Haru yang berdiri sekitar abad 14
sampai abad 15 di daerah Sumatera Utara. Kemudian pengucapan kata Haru ini
berubah menjadi Karo. Inilah diperkirakan awal terbentuknya nama Karo.
2. Sejarah Batak Karo
Kerajaan Haru- Karo mulai menjadi kerajaan besar di
Sumatera, namun tidak diketahu secara kapan berdirinya. Namun demikian, Brahma
Putra dalam bukunya “Karo dari Zaman ke Zaman” mengatakan bahwa pada abad 1
Masehi sudah ada kerajaan di Sumatera Utara yang rajanya bernama “Pa Lagan”.
Menilik dari nama itu merupakan bahasa yang berasal dari suku Karo. Mungkinkah
pada masa itu kerajaan Haru sudah ada? Hal ini masih membutuhkan penelitian
lebih lanjut.
Kerajaan Haru- Karo diketahui tumbuh dan berkembang
bersamaan waktunya dengan kerajaan Majapahit, Sriwijaa, Johor, Malaka dan Aceh.
Terbukti karena kerajaan Haru pernah berperang dengan kerajaan- kerajaan
tersebut. Kerajaan Haru identik dengan suku Karo, yaitu salah satu suku di
Nusantara. Pada masa keemasannya, kerajaan Haru- Karo mulai dari Aceh Besar
hingga ke sungai Siak di Riau. Eksistensi Haru- Karo di Aceh dapat dipastikan
dengan beberapa nama desa di sana yang berasal dari bahasa Karo. Misalnya Kuta
Raja (Sekarang Banda Aceh), Kuta Binjei di Aceh Timur, Kuta Karang, Kuta Alam,
Kuta Lubok, Kuta Laksamana Mahmud, Kuta Cane, Blangkejren dan lainnya.